An
atmosphere need to be created whereby economists are prepared to take on
what is best from the social science; economics is more likely to be
changed by its friends than by its critics; in business as well as in
theory we prefer not the metaphor of the invisible hand but rather that of
the “invisible handshake” the spirit of cooperation and
competition.1)
1)
Alan Lewis and Karl Erek Warneryd, Etics and Economic Affairs, Routledge,
1994, hal. 372.
PENDAHULUAN
Jika
di sejumlah negara Barat yang maju perekonomiannya pakar-pakar ekonomi
sudah lama mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu
ekonomi bagi pembangunan suatu masyarakat/ bangsa, di Indonesia yang baru
memiliki Doktor Ekonomi pertama tahun 1943, masalah ini sangat sedikit
dipersoalkan. Dosen-dosen/pengajar ilmu ekonomi di perguruan-perguruan
tinggi tak banyak yang membaca buku-buku yang bersifat kritis tentang ini.
Terakhir, kiranya tidak banyak ekonom arus utama yang berminat membaca
buku Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics) tulisan
Paul Ormerod tahun 1994, padahal penulisnya pernah datang ke Jakarta (15
Januari 1998), dan berdiskusi dengan para ekonom senior kita.
Namun
jika Paul Samuelson sendiri sebagai salah seorang ”Nabi” ilmu ekonomi
Neoklasik menyatakan bahwa ilmu ekonomi akan lebih besar kamungkinan
diubah oleh teman-temannya daripada para pengkritiknya, kiranya
pakar-pakar ekonomi Indonesia harus tidak mudah berpuas diri dengan ilmu
yang digelutinya.2) Terutama para dosen perguruan tinggi ada baiknya menanyakan
pada sarjana-sarjana lulusannya, sejauh mana ilmu ekonomi yang dipelajari
di perguruan tinggi benar-benar ”memberi bekal”
memadai untuk ”bekerja” atau membuat analisis-analisis
permasalahan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1976 telah terbit buku Economics
in The Future yang sangat tidak puas dengan ekonomika Neoklasik.
Jan Tinberger dan Gunnar Myrdal mengusulkan ilmu ekonomi yang tidak
(induktif) empirik dan kelembagaan (institusional).
2)
dalam Moh. Arsyad Anwar, Pemikiran Pelaksanaan, dan Perintisan
Pembangunan Ekonomi, Gramedia 1992, hal 69-86.
THE JAKARTA
SCHOOL OF ECONOMICS
Prof.
Sumitro Djojohadikusomo adalah ekonom Indonesia pertama bergelar Doktor
(1943). Fakultas Ekonomi yang didirikan Sumitro di Jakarta (1950), sering
dikenal sebagai The Jakarta School of Economics. Namun berbeda dengan
kesan umum adanya ciri FE-UI ini yang kadang-kadang disebut mengajarkan
falsafah ekonomi liberal, ”ciri khas” sebenarnya (kalaupun ada)
adalah berbeda dari ilmu ekonomi “Neoklasik” yang diajarkan di Amerika
Serikat yang makin banyak menggunakan model-model matematik. Sumitro dalam
tulisan “Pendekatan Ekonomi terhadap Perspektif Sejarah memulai
tulisannya dengan menunjuk pada “Methodensreit” antara Mazab Austria
(Carl Menger) dan Mazab Historismus (Gustav Schmoller) tahun
1873-74 yang dianggap oleh Joseph Schumpeter sebagai ”pemborosan
energi”. Dalam tulisan jelas bahwa Sumitro lebih condong dan bersimpati
pada mazab historismus yang bersifat induktif-empiris meskipun
pendekatan ini tidak tegas-tegas dilawankan dengan pendekatan
teoritik-analitik–matematik.
Jika
Sumitro lebih menekankan ciri JSE (Jakarta School of Economics) pada
masalah-masalah pembangunan ekonomi jangka panjang dalam perspektif
sejarah, maka Suhadi Mangkusuwondo mengembangkan argumentasi lebih lanjut
menjadi masalah-masalah ”makro” perluasan lapangan kerja dan
peningkatan pendapatan dalam proses pembangunan ekonomi jangka panjang. 3)
3)
Suhadi Mangkusuwondo, Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi Makro: Perspektif
Indonesia, dalam Hendra Esmara (Peny), Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan
Pembangunan, Gramedia 1987.
Pada
era Orde Baru ketika tokoh-tokoh teknokrat FE-UI diangkat menjadi
menteri-menteri, khususnya sejak deregulasi/liberalisasi 1983-93, JSE
mendapat julukan baru sebagai fakultas yang mengajarkan paham liberal. Ini
dibantah Suhadi.
Tidaklah
benar anggapan sementara kalangan yang menyatakan bahwa alumni FE-UI
berpandangan ”liberal”, dalam arti bahwa mereka terlalu percaya pada
mekanisme pasar yang bebas… Mereka pada dasarnya adalah intervensionis,
tidak percaya bahwa mekanisme pasar yang bebas akan menghasilkan
perkembangan ekonomi yang optimal.4)
4)
Suhadi Mangkusuwondo, idem h. 52-53 op.cit hal 47-65
Pada
tahun 1981, ketika terjadi Polemik Ekonomi Pancasila, muncul kesan adanya
kubu UI dan kubu UGM, yang pertama dianggap pro-pertumbuhan, sedangkan
yang kedua pro pemerataan. Selanjutnya saat terjadi reformasi politik
ekonomi tahun 1998, Warta Ekonomi (November 1998) membuat Cover
Story ”Ekonomi Rakyat Menggeser Berkeley Mafia”. Adi Sasono
yang ditunjuk menjadi Menkop & UKM oleh Presiden Habibie memimpin
barisan “pembela ekonomi rakyat”, sedangkan sejumlah ekonom muda UI
(Faisal Basri dan Chatib Basri) menganggap sepi ekonomi rakyat. Emil Salim
menolak disalahkan telah memihak konglomerat. ”Dari semula prioritas
kami adalah pembangunan rakyat kecil dan (karena) sebagian besar rakyat
tinggal di pedesaan, maka prioritas pembangunan harus pertanian.”
Menurut Emil Salim Ekonomi Indonesia memang mulai melenceng antara
1988-1993 dan sejak 1993 ekonom satu persatu mulai digusur oleh non ekonom
dari pemerintahan. 5)
5)
Warta Ekonomi No. 25/X/9 November 1998
Dalam
semua debat para ekonom sejak 1981 sampai 1998 tersebut, yang menjadi
fokus adalah strategi pembagunan ekonomi bukan teori
ekonomi atau ilmu ekonomi. Kini (2001-2002) karena krisis
multidimensi yang berkepanjangan mulai dipersoalkan teori ekonomi
atau ilmu ekonomi yang mendasarinya.
PAUL SAMUELSON SEBAGAI “NABI” EKONOMI
Buku
teks ilmu ekonomi paling laris di dunia dan yang sudah diterjemahkan dalam
banyak bahasa di luar bahasa Inggris adalah buku Paul Samuelson, Economics,
yang kini (2001) sudah mencapai edisi ke-16. Segera setelah terbit edisi
pertama tahun 1948 memang buku ini diterima baik karena padat, lengkap,
mudah, dan menggunakan bahasa Inggris yang sederhana.
Samuelson
mampu menjadikan ilmu ekonomi “laksana agama” baru dari kaum progresif
yang “Tuhan”nya tidak lain adalah efisiensi. Apapun yang
efisien adalah baik, dan yang tidak efisien buruk.
The
goal of economics, in short, is progress; the means is an efficient
economic system; the sinners are the special interests; the greatest
danger posed for the world is cyclical instability and unemployment of
resources that will lead to demagoguery, dictatorship and war.
Far
at least another hundred years we must pretend to ourselves and to
everyone that fair is foul and foul is fair; for foul is useful and fair
is not. Avarice and usury and precaution must be our gods for a little
longer still.6)
6)
Robert Nelson, Economics as Religion. Pensylvania, 2001. op. cit.
hal. 110,112
New
“economic religions” have emerged that could provide secular religious
blessings in place of the old Judeo – Christian theologies. Economists
have been modern priesthood, capable of establishing the social legitimacy
of market institutions defined in religious terms more acceptable to the
modern age grounded in “scientific” truth.7)
7)
Robert Nelson, idem hal. 270
Any
old religion may do for economic purposes, as long as it is truly believed
in and support the market and other economic institutions, but a religion
will not be believed in unless it can successfully assert a truth claim
about the world. 8)
8)
Robert Nelson, idem hal. 302
Karena
ternyata penerapan ajaran-ajaran ekonomi Samuelson membuahkan hasil berupa
kemajuan ekonomi luar biasa bagi bangsa Amerika, maka muncul keyakinan
“Tuhan berpihak pada kami”, dan pasar juga telah
”diberkahi” oleh Tuhan (God Bless The Market). Lebih-lebih
setelah bangkrutnya sistem ekonomi non pasar Uni Soviet, bangsa Amerika
makin yakin (sistem) pasar pasti menghasilkan efisiensi ekonomi nasional.
Maka tidak mengherankan membaca judul Laporan Pembangunan Dunia (World
Development Report) 2002 Building Institutions for Markets.
Artinya lembaga harus ditemukan dan dikembangkan untuk
“diabdikan” pada pasar karena pasar dan efisiensi yang dihasilkannya
merupakan “Tuhan” itu sendiri. Ini sejalan dengan ajaran agama-agama
besar khususnya Kristen dan Islam bahwa manusia diciptakan menjadi wakil
Tuhan di dunia untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah). Kepercayaan pada Tuhan
ini nyata tertulis pada uang dollar Amerika Serikat “In God We Trust”,
dan Dwight Eisenhower pernah sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat
menyatakan :
America
makes no sense without a deeply held faith – and I don’t care what it
is. A religious bases of civil mindedness and social solidarity is
necessary; whatever it is.9)
9)
Robert Nelson, idem hal. 301
Demikian
banyak pakar Ekonomi Amerika berhasil meraih Hadiah Nobel Ekonomi karena
ajaran-ajarannya “terbukti”, dan bermanfaat bagi kemajuan ekonomi
masyarakat Amerika yang kini ingin di”globalisasikan” supaya juga
“memberi manfaat” pada bangsa-bangsa lain yang “belum beruntung”,
yaitu negara-bekas jajahan yang sedang berkembang.
The
most vital religion of the modern age has been economic progress …
(economists) have been the modern priesthood of the religion of progress,
interpreting its form, refining its messages, and assuring the faithful
that progress would continue … By promoting a culture of civil
commitment to the market system, economists have put the power of religion
to work in fending off these newer temptations of a modern kind of
“devil”.10)
10)
Robert Nelson, idem hal. 329
EKONOMIKA DAN IDEOLOGI
Banyak
pakar ekonomi Indonesia penganut paham arus utama Neoklasik menyatakan
keberatan memasukkan ideologi Pancasila dalam asas kekeluargaan
yang termuat dalam pasal 33 UUD 1945 ke dalam sistem ekonomi Indonesa.
Menurut mereka ekonomika harus bersifat ilmu positif (positive science)
yang membahas das sein bukan ilmu ekonomi normatif yang membahas das
sollen.
Pendapat
Mubyarto-Hidayat cs ini memang bertentangan dengan pendapat yang dewasa
ini secara umum dianut oleh para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu
pengetahuan sosial. Menurut pendapat umum ini tugas utama ilmu pengetahuan
sosial adalah menyusun teori-teori yang bersifat nomologis; artinya
mencari hukum-hukum empiris yang dapat digunakan untuk membuat
ramalan-ramalan (prognosa). Hukum-hukum empiris tidak bersifat normatif,
sebab hukum-hukum ini hanya menyatakan sesuatu keadaan dalam kenyataan
seperti adanya. Bukan sebagai seharusnya ditinjau dari prinsip-prinsip
moral dan etika.11)
11)
Masuk Pangabean, Teori Ekonomi Pancasila: Nomologis atau Normatif, Sinar
Harapan, 13 Agustus 1981
Kritik
terakhir pada gagasan Mubyarto adalah pendekatan ilmiahnya dalam memcahkan
persoalan yang dihadapinya. Seperti juga ahli-ahli ilmu sosial lain
umumnya di Indonesia yang saya anggap merupakan kelemahan, pendekatannya
bersifat normatif, karena itu ahistoris.12)
12)
Arief Budiman, Sebuah Kritik Terhadap “Sistem Ekonomi Pancasila
Mubyarto”, Kompas, 10 Juni 1981
Sekiranya
terdapat ilmuwan yang ingin memasukkan motif non-ekonomis ke dalam
pengkajian ilmu ekonomi, hanya disebabkan keinginan mendekatinya dari segi
moral secara normatif, maka saya berkeberatan. Sebab ilmu
pada dasarnya mempelajari apa adanya dan bukan apa yang seharusnya.
Pendekatan seperti ini berarti, bahwa ilmu ekonomi surut lagi ke belakang,
ke abad pertengahan ketika ilmu merupakan moral terapan. 13)
13)
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Ilmu Ekonomi Pancasila, Kompas,
31 Juli 1981
Dari
beberapa komentar tersebut yang semuanya dimuat di surat kabar harian,
bukan di majalah atau jurnal ilmiah, dapat kita simpulkan adanya dikotomi
antara ilmu yang positif dan yang normatif, dan ilmu atau
teori ekonomi Pancasila adalah normatif. Sebenarnya seminar ekonomi
Pancasila bulan September 1981 tidak pernah sampai pada perdebatan tentang
teori atau ilmu ekonomi Pancasila tetapi tentang Sistem Ekonomi atau
aturan main hidup berekonomi yang didasarkan pada ideologi
Pancasila. Memang jika dalam teori ekonomi Neoklasik hanya dikenal 2
sistem ekonomi (kapitalisme dan sosialisme), maka tidak ada tempat bagi
sistem ekonomi lain yang tidak mengacu pada 2 sistem ekonomi tersebut.
Tetapi jika Pancasla sejak Indonesia Merdeka tercantum sebagai idelogi
bangsa, dan termuat jelas dalam Pembukaan UUD 1945, maka negara kebangsaan
Indonesia termasuk para ilmuwannya sepatutnya mengacu pada ideologi
tersebut sebagai pegangannya. Jika pemahaman yang demikian diterima
tentunya sulit diterima kritik bahwa Mubyarto-Boediono telah “menuduh
Arief Budiman belum paham Pancasila dengan sikap super”.14)
Maruli Panggabean
membabat pemikiran Mubyarto-Hidayat sebagai paham normatif, padahal
teori-teori yang normatif sekali pun tidak cukup hanya dengan
menyebut-nyebut Pancasila saja, tetapi harus didahului penjelasan apa
fungsi ilmu pengetahuan sosial di Indonesia. Ilmu pengetahuan sosial
menurut Maruli Panggabean (mengutip Max Weber) harus “bebas nilai” (value-free).
15)
14)
Pikiran Pembaca, Kompas, 30 Juni 1981
15)
Maruli H. Pangabean. Idem. Sinar Harapan 13 Agustus 1981
Keberatan
dipakainya ideologi atau nilai-nilai dalam ilmu ekonomi sering
didasarkan pada pengertian yang keliru tentang ideologi. Ideologi
sebenarnya berarti ilmu tentang ide, ilmu tentang gagasan, yang tentu saja harus berperan
dalam proses pengembangan setiap ilmu termasuk dan terutama menyangkut
ilmu-ilmu sosial.
Value
judgments refer to conscious and piecemeal objective
norms or subjective (moral) predilections, for example, that to eradicate
poverty there should a more political freedom enjoyed by the public. On
the other hand, ideology refers to an unconscious, or
“semi-conscious and total “world-view”. … Value judgment are
partial manifestations of total ideological commitments.16)
16)
Katouzian, Homa, Ideology and Method in Economics, Macmillan, 1980,
op.cit. hal 131-136
Dari
pengertian ideologi yang demikian jelas bahwa ideologi yang telah dimiliki
suatu bangsa seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak saja tidak
boleh tetapi bahkan harus dipakai dalam menyusun sistem ekonomi nasional.
Dan untuk itu diingatkan definisi sistem ekonomi Joan Robinson (1962).
The
pre-requisites for an economic system is a set of rules, an ideology
to justify them, and a conscience in individual which makes them
strife to carry them out? 17)
17)
Robinson, Joan, Economic Philosophy, 1962
KKN DAN KAPITALISME PERKONCOAN
Dua
istilah ini, KKN dan Kapitalisme Perkoncoan, sudah sering disatukan dalam
KKNK (Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Kronisme), yang artinya semua praktek
negatif dari (terutama) birokrat dan dunia bisnis yang
karena terlalu jauh diarahkan pada pengejaran keuntungan pribadi, dengan
mengorbankan kepentingan orang lain (rational-selfishness), telah menjadi
penyumbang terbesar dari krisis multidimensi (terutama
krisis perbankan) sejak 1997 sampai sekarang.
Kontroversi
tentang perpanjangan PKPS ( Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) jelas
menggambarkan posisi menteri-menteri tertentu bidang perekonomian apakah
ia memihak konglomerat atau memihak ekonomi rakyat.
Tentu harus dicatat bahwa “memihak” konglomerat tidak sama dengan
“memusuhi” ekonomi rakyat, dan sebaliknya, meskipun akan terbukti
kemudian bahwa jika PKPS lolos, perilaku konglomerat yang kebablasan di
masa lalu akan terulang dan ekonomi rakyat akan lebih tergusur lagi. Dalam
kaitan ini kekawatiran seorang Adam Smith dalam buku babon ilmu ekonomi Wealth
of Nations (1776) ternyata tetap relevan di dunia bisnis di manapun
termasuk di Indonesia sekarang.
People
of the same trade freedom meet together, even for merriment and diversion,
but the conversation ends in a conspiracy against the public or in some
contrivance to raise prices
The
interest of the dealers, however, in any particular branch of trade or
manufactures, is always in some respect different from and even opposite
to, that of the public … To narrow the competition is always the
interest of the dealers … But to narrow the competition must always be
against --- (the interest of the public), and can serve only to enable the
dealers, by raising their profits above what they naturally would be, to
levy for their own benefit, an absurd tax upon the rest of their fellow
– citizens.18)
18)
Dikutip dalam E.K. Hunt, History of Economic Thougt A Critical
Perspective. Wodsworth, 1979, op.cit. hal 55- 56
KKN
yang kini telah menjadi semacam ”musuh” (momok) ekonomi
Indonesia muncul sebagai upaya menghindari persaingan. Dengan koneksi atau
menemukan konco (kroni) pejabat atau birokrat, maka bisnis dapat
dijamin dan keuntungan aman atau “sudah di tangan”. Sejumlah
konglomerat Indonesia jelas lahir atau menjadi sangat besar (meraksasa)
karena kolusi atau koneksi antara pengusaha dan oknum-oknum pejabat
pemerintah. Yang lebih hebat lagi dan terjadi dengan mudah adalah jika
pengusaha adalah anak pejabat penting, karena pejabat tertentu
terang-terangan tanpa melalui tender memberikan proyek atau bisnis besar
kepada anaknya sendiri. Kadang-kadang anak-anak pejabat ini benar-benar
terlibat langsung sebagai pengusaha. Tetapi yang lebih sering terjadi,
anak-anak pejabat hanya dipinjam namanya, atau perusahaan yang didirikan
memberikan saham kosong kepada anak pejabat bersangkutan, sehingga tanpa
modal anak pejabat tersebut ikut menjadi pemilik sejumlah perusahaan.
Selama
periode konglomerasi 1987 – 1994, bersamaan dengan proses perkembangan
liberalisasi/deregulasi, pertumbuhan bank-bank swasta yang didirikan oleh
pengusaha-pengusaha besar tertentu, bank-bank ini mampu menjadi besar dan
pada saat bersamaan mampu
membesarkan perusahaan dari para pemilik Bank, karena dana pihak ketiga
lebih banyak dipinjamkan kepada perusahaan-perusahaan milik sendiri,
meskipun sebenarnya ada batasnya. Pelanggaran demi pelanggaran batas
pemberian pinjaman kepada perusahaan sendiri inilah yang mempercepat
kebangkrutan Bank-bank swasta, yang 16 diantaranya ditutup pemerintah
tanggal 1 November 1997, dan yang lebih merangsang rush pada hampir
semua bank swasta lain yang sejak itu masuk rumah sakit BPPN.
Bahwa
proses deregulasi/liberalisasi perbankan ini menjadi kebablasan diakui
oleh Radius Prawiro dalam bukunya.
Dalam
keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani
menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar.
Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal dengan demikian, menjadi
yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di
negara-negara yang paling berkembang. 19)
19)
Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme
dalam Aksi. Elex Media Komputindo, 1998 op.cit. hal 409
Pengakuan
Radius Prawiro ini menarik bila dikaitkan dengan pendapat Suhadi
Mangkusuwondo yang disebutkan diatas tentang Jakarta School of
Economics yang dibantah telah mengajarkan paham ekonomi liberal.
Disini terlihat bahwa pemerintah yang
menurut amanat pasal 33 UUD 1945 harus “menguasai” perekonomian
nasional (pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak), telah “kebobolan” melalui
liberalisasi keuangan dan perbankan tahun 1983 dan kemudian 1988.
Cukup
menarik bahwa pengalaman sangat pahit kebijakan liberalisasi perbankan
yang berakibat krisis moneter 1997 dewasa ini tidak dianggap sebagai
kekeliruan oleh sementara pakar ekonomi arus utama (Neoklasik). Yang
selalu ditonjolkan justru adalah bahwa ekonomi Orde Baru (sampai 1996)
harus diakui telah berhasil (sukses) memajukan ekonomi Indonesia karena
kebijakan yang liberal tersebut. Maka ”pemulihan ekonomi Indonesia tidak
mungkin dan tidak boleh meninggalkan kebijakan yang telah terbukti
berhasil tersebut”.
Indonesia’s
success in recent years is largely attributable to liberalization and its
recent troubles to some extent reflect failure to carry through the
principles of liberalization to certain key areas. The key to recovery and
future success, therefore, is to pursue further liberalization, not to
wind back that has already been achieved.20)
20)
McLeod, Ross, Indoensia’s Crisis and Future Prospect, dikutip
dalam Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu
Sosial, YAE, 2002. hal 78
ILMU EKONOMI DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL
Jika
pendiri mazab Neoklasik Alfred Marshall hidup kembali, pasti ia
sangat sedih, seperti halnya Adam Smith pendiri mazab Klasik, bahwa
ajarannya hanya separonya saja diterapkan yaitu pendekatan deduktif,
sedangkan ajaran yang separonya lagi yaitu pendekatan sejarah yang empirik-induktif
sama sekali dilupakan. Namun kesalahannya tidak dapat dilepaskan dari
“keteledoran” Alfred Marshall sendiri yang telah membiarkan ilmu
ekonomi sebagai disiplin menjadi penentu arah kegiatan ilmiah dan
masalah-masalah sosial yang muncul dalam masyarakat tidak dijadikan obyek
yang harus dipecahkan.
Because
economic elected to be a deductive science, it abstracts from the
historical character of what it studies and indeed from everything that
cannot be quantified. 21)
21)
Daly H.E, J.B.Cobb, For the Common Good, Beacon Press, 1989,
op.cit. hal 121, 124
Marshall
stated that the dominant aim of economics was to contribute to a solution
of social problems. Yet the relation of his work to that end was quite
indirect (this is) because he allowed his task to be determined for him
by the discipline itself and not by the social problem.
Jika
di negara-negara maju ilmu ekonomi dijadikan makin “ilmiah” dengan
sasaran-sasaran analisisnya pada masalah-masalah non-ekonomi seperti
keluarga (Gary Becker) atau agama (the economics of religion), maka
di negara-negara berkembang orang-orang awam makin frustasi karena ilmu
ekonomi nampak tak berminat pada masalah perbaikan pemerintahan (governance).
The
Neoclassical economist typically is not concerned with the usefulness of
the theory to governance; it suffices for him that the theory is useful
and applicable in problems involving maximization of return from the use
of scarce resources. 22)
22)
Monroe Burk, Ideology and Morality in Economic Theory, dalam A Lewis &
K.E. Warneryd (eds) Ethics and Economic Affairs, Routledge, 1994,
op.cit. hal 314
Jika
ilmu ekonomi Neoklasik tidak berminat menganalisis masalah-masalah sosial
di negara-negara sedang berkembang, tetapi mengurung diri sebagai disiplin
yang kaku maka ia bukan ilmu sejati tetapi sekedar sebagai ideologi,
itupun ideologi yang tidak mengikat, sehingga tidak berguna bagi
pembangunan masyarakat, malahan ia menjadi penghambat pemecahan
masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. 23)
23)
Monroe Burk, Idem hal 313
Neoclassical
economics is neither positive nor a normative science. It is used
extensively as a rhetorical devise in support of policies arrived at
independently. In its populist version, it enters into the Weltanschauung
/ Mind Set / Myth Structure of our culture, and thus becomes a lens
through which individuals observe the world about them and guide their
behavior. To the extent it contributes to a materialistic, hedonistic,
greedy and avaricious life style, it is greatly to be deplored. Its most
destructive impact, however, is to debar other paradigms, ad in particular
the socio-economic paradigm, from a respective hearing.24)
24)
Monroe Burk, Idem hal 320-321
Salah
satu manifestasi paling buruk dari penerapan teori ekonomi Neoklasik di
Indonesia adalah tidak pernah diperhatikannya data-data empirik
perekonomian daerah yang sering sangat berbeda dengan data-data agregat
yang tercatat di Jakarta. Misalnya tentang kontraksi ekonomi amat besar
(-13.4%) tahun 1998 yang berdasar kurs dolar telah menurunkan
“kesejahteraan bangsa” Indonesia (pendapatan perkapita) dari USD 1200
menjadi USD 600. Data kontraksi ekonomi di luar Jawa hanya –4,4% bahkan
di Irian Jaya tahun 1998 masih tumbuh positif 12,8%.
Dalam
rangka menganalisis dampak krismon 1997/98 dan kebijakan serta
program-program “pemulihan ekonomi”, metode analisis yang semata-mata
deduktif ini sungguh tidak realistis jika tidak dapat dikatakan keliru.
Neoclassical
economics often constitutes an impediments rather than a help in the
analysis of a real-world problem because it prevents piercing through the
layer of assumptions about consumer sovereignty and consumer preference
contained in it.25)
25)
Monroe Burk, idem hal. 322
PENUTUP
Pancasila
memuat semacam “janji-tekad dari seluruh warga bangsa untuk bekerja
keras mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
melalui ketakwaan pada Tuhan yang Maha Esa, kesadaran kemanusiaan,
semangat persatuan-kebangsaan dan kerakyatan/demokrasi. Bung
Karno pada pidato lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan
dasar negara Indonesia Merdeka sebagai berikut:
1.
Kebangsaan Indonesia; dan
2. Internasionalisme – atau Peri-kemanusiaan; yang diringkas dalam konsep Socio-Nasionalisme
Selanjutnya dasar
3. Mufakat – atau Demokrasi, dan
4. Kesejahteraan Sosial; diringkas menjadi socio-demokrasi;
2. Internasionalisme – atau Peri-kemanusiaan; yang diringkas dalam konsep Socio-Nasionalisme
Selanjutnya dasar
3. Mufakat – atau Demokrasi, dan
4. Kesejahteraan Sosial; diringkas menjadi socio-demokrasi;
Ke-4
dasar negara ini “dipanyungi” semangat dan sikap ke-5 yaitu bertaqwa
pada Tuhan Yang Maha Esa atau Prinsip Ketuhanan. 26)
26)
Bung Karno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Jelas
di sini bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menggambarkan sifat
Ketakwaan seluruh warga bangsa memayungi sila-sila socio-nasionalisme
dan socio-demokrasi. Jika urutan Pancasila kita sekarang
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah:
1.
Ketakwaan,
2. Kemanusiaan,
3. Kebangsaan (Persatuan),
4. Demokrasi (Kerakyatan), dan
5. Keadilan sosial,
2. Kemanusiaan,
3. Kebangsaan (Persatuan),
4. Demokrasi (Kerakyatan), dan
5. Keadilan sosial,
maka
jelas bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang serba-berkecukupan
(adil-makmur) dasar-dasar etika kita adalah ketakwaan dan
kemanusiaan, sedangkan metode kerja-nya adalah
kebangsaan/nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan.
Bung
Hatta yang mendukung penuh Pancasila sebagai pedoman melaksanaan sistem
“ekonomi terpimpin” menegaskan bawa politik kemakmuran Indonesia ialah
politik yang didasarkan pada “pembangunan tenaga beli rakyat” yaitu
dengan memperbesar produksi sekaligus menyediakan lapangan kerja penuh.
Apabila
di dalam pembukaan UUD 1945 tersimpul tujuan bangsa dan Pancasila sebagai
pegangan dalam melaksanakannya, dalam UUD sendiri terdapat beberapa
peraturan tentang melakukan ekonomi terpimpin. Peraturan itu terdapat
dalam Pasal 33, Pasal 27 ayat 2 dan pasal 34. Yang pertama mengenai sistem
yang kedua mengenai hak sosial warga negara, dan yang ketiga
mengenai tugas Pemerintah. Pasal 33 itu adalah sendi utama bagi
politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Dasar ekonomi
rakyat mestilah usaha bersama dikerjakan secara kekeluargaan.
Maksudnya ialah koperasi. Cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme
dan kapitalisme secara fundamental. 27)
27)
Bung Hatta, Pidato dalam Pengarahan kepada Lembaga Pengkajian Ekonomi
Pancasila, 21 Juni 1979
Demikian
sistem Ekonomi Indonesia yang mampu mewujudkan cita-cita Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme
yang kini merajalela kembali melalui ideologi neoliberalisme dan gerakan
globalisasi. Teori, “ideologi”, serta “agama” yang menjadi
kekuatannya adalah ajaran ekonomi Neoklasik yang sangat sukses di Amerika
Serikat dan sejumlah negara Eropa Barat tetapi gagal di negara-negara lain
di luar itu. Itulah yang dipertanyakan secara tajam oleh Hernando de Soto
dalam bukunya The Mystery of Capital: why Capitalism Triumphs in the
West and Fails Everywhere Else.
Prof. Dr. Mubyarto : Guru
Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika
DAFTAR
PUSTAKA
Ace
Partadiredja, Ekonomika Etik, Himpunan Pidato Pengukuhan Guru Besar
UGM, Ilmu-ilmu Sosial, 1949-1999, 2000
Boulding,
Kenneth, Economics as a Science, McGraw-Hill, 1970
Dopter,
Kurt et al, (eds), Economics in the Future, Macmillan, 1976
Katouzian,
Homa, Ideology and Methods in Economics, Macmillan, 1980.
Lewis,
Alan & Kare-Erik Warneryd (eds), Ethics and Economic Affairs,
Routledge, 1994
Lunati,
M. Teresa, Ethical Issues in Economics, Macmillan, 1997.
Mahen,
John.E, What is Economics, John Wiley & Sons, 1969.
Nelson,
Robert H, Economics as Religion, Pennsylvania State UP, 2001.
Ormerod,
The Death of Economics, Faber & Faber, 1994.
Ward,
Benyamin, What’s Wrong with Economics, Basic Book, New York, 1972
Wilber,
Charles K, Economics, Ethics, and Public Policy(eds), Rowman &
Littlefield, 1998.
Wilson,
Rodney, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar